RSS Feed

AS SYIFA DENGAN SEMUA PESONA_NYA

Posted by lulu jamaludin kamal Labels:


Sekitar awal tahun 2009 hingga pertengahan merupakan saat-saat terakhir saya bekerja di perpustakaan kampus UAI sebagai pegawai kontrak. Sempat terdesak keluar dan belum tahu akan pindah bekerja dimana. Sedangkan mengingat usia sudah mulai bertambah dan persaingan kerja bukan lagi hanya dengan yang seusia tapi juga dengan fresh graduate yang kualitasnya banyak di atas saya.
Zaman dan era globalisasi memaksa setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup semata bukan lagi pengabdian kepada Allah atau secara sadar bekerja karena bernilai ibadah. Hal tersebut sangat sulit ditemukan di Jakarta namun sebaliknya, karakter dan mental kapitalis dengan jelas dan mudah dapat ditemukan disana. Mungkin, dulu saya adalah salah satu korbannya. Tidak memungkiri kenyataan bahwa materialisme bisa menjadi suatu momok menyeramkan andaikata seseorang dengan gaya hidup yang tadinya sangat sederhana apalagi miskin bisa berubah drastis menjadi pemuja berhala baru yakni kekayaan. Membuatnya lupa akan asal-usulnya dulu sebelum kaya. Hidup seperti inilah yang sepertinya sudah menjadi budaya di Jakarta sebagai salah satu pusat kegiatan metropolis yang menjadi tujuan bagi para pengubah nasib. Sangat mengerikan juga bagi saya kalau saya jadi tertular penyakit dan gaya hidup metropolitan yang menyerang tanpa pandang bulu itu.
Selain kontrak kerja yang sudah pada limitnya, suatu keadaan hati yang tidak baik juga saya rasakan sebagai pemicu pindahnya saya dari tempat kerja ini. Setelah beberapa lamaran pekerjaan dikirim ke berbagai tempat dan banyak panggilan interview telah saya jalani namun hingga bulan April belum juga ada kabar baik mengenai tempat kerja baru. Kegiatan rohani yang saya jalani selama di Al-Azhar sebenarnya banyak membantu saya terlindung dari sifat kapitalis, namun tidak menutup kemungkinan saya untuk tergelincir ke dalamnya. Tawaran kerja yang bersifat kejar target dan mengejar orang-orang yang berhutang, juga bukan pilihan yang baik.
Diantara banyaknya benang kusut yang menyeruak di pikiran dan batin saya di tambah suasana hati yang sangat tidak mengenakkan, muncullah tawaran dari sang Murobbi saat saya halaqoh suatu sore di rumahnya seperti biasa. Awalnya coba-coba saja karena di saat seperti itu, tidak boleh ada kesempatan yang terlewatkan. Mendengar kata As Syifa pertama kali dari bibir beliau sepertinya masih terdengar asing apalagi berupa sekolah berasrama atau sebutan jaman dulunya pesantren namun anak-anak modern jaman sekarang lebih suka menyebutnya boarding school. Tempatnya? Di luar Jakarta pula. Sudah bisa dibayangkan bahwa seandainya saya diterima disana maka saya harus pindah dan bermukim di Subang tempat As Syifa berada.
Jujur, saya tidak memiliki bekal apapun kalau harus merantau sejauh Subang. Tapi entah mengapa hati saya sangat yakin untuk menjalani semua ini. Banyaknya testimoni yang positif mengenai As Syifa melalui pengalaman saudara, murobbi sendiri dan teman-teman membuat orangtua juga meridhoi saya untuk memulai tahapan test tertulis hingga wawancara. Saat itu memang belum melepas pekerjaan di Jakarta hingga semua tahapan usai. Akhirnya pada bulan Juli setelah pengalaman bolak-balik Subang Jakarta tanpa menginap, pengumuman itupun datang melalui SMS. Saya diharuskan datang karena berhasil diterima sebagai pustakawan dan satu-satunya yang berhasil lolos dari sekian pendaftar pustakawan. Awalnya sempat ragu juga, apa saya memang berkompeten di bidang ini apalagi menurut bocoran hasil test potensi akademik, nilai saya merupakan capaian tertinggi dari seluruh pelamar jenis bidang kerja apapun. Padahal saingannya juga tidak main-main. Sejauh itu, saya hanya berpikir bahwa Allah benar-benar bersama saya dan mendukung keputusan ini. Bulan Juli akhir saya resmi resign dari perpustakaan Universitas Al-Azhar Indonesia. Kampus yang saya cintai dengan begitu banyak kenangannya, rumah dengan begitu banyak lika-likunya, dan banyak teman-dengan begitu banyak canda tawanya untuk saya selama di Jakarta. Sedih pasti iya, tapi demi mengejar masa depan yang lebih baik mengapa harus berpikir berkali-kali lagi? Apalagi As Syifa merupakan tempat yang baik yakni berupa lembaga pendidikan yang juga sama seperti Universitas Al Azhar.
Pindah ke suatu tempat baru bukan hal yang mudah apalagi Subang memiliki suhu jauh di bawah Jakarta yang panasnya minta ampun. Selama test dan pelatihan dilaksanakan sebelum saya benar-benar pindah sebenarnya saya sudah banyak menemukan semacam tambatan hati untuk bekal saya bisa betah tinggal di tempat baru. Tambatan hati itu pertama, suasana yang masih asri. Bayangkan, ada sawah di depan asrama, kebun nanas menghampar di sekitar bukit di samping asrama, dan hutan pohon kayu berkelebat di seluruh lingkaran area lembaga ini. Sebenarnya masih banyak tempat yang bersawah, berkebun dan berhutan di sekitar As Syifa dan itu masih sah asli milik penduduk sekitar yang belum dibebaskan lahannya oleh mereka. Kedua, tempat kerja yang tidak memerlukan biaya transportasi. Hal ini bisa menutup gaya hidup materialism yang masih agak menjangkiti orang bekas metropolitan seperti saya. Gaji bisa tetap utuh karena ditabung atau bisa fokus untuk mengalokasikannya dengan hal yang lebih bermanfaat. Ketiga, ikhwahnya. Karena para pendiri As Syifa memang berlatar belakang tarbiyah seperti yang sudah saya jalani selama ini saya pun tidak ragu berada di bawah naungannya karena semua yang bekerja di As Syifa wajib tarbiyah/ halaqoh.
Melalui test wawancara, wawasan saya sedikit bertambah mengenai As Syifa. Saat itu saya langsung diwawancarai oleh sang empunya pendiri As Syifa pertama kali. Bapak ini masih bisa dibilang setengah baya dan terlihat cerdas meskipun pendidikannya baru sampai D3 saja. Tutur katanya tekonsep, runtun dan jelas. Tentu saja bukan hasil latihan melainkan sebuah karakter muslim yang sudah tertarbiyah lama. Orang yang humoris, tegas, seorang penulis dan juga orang rantau yang berasal dari Depok. Jadi, saat mewawancarai saya beliau sudah seperti memiliki field of experience yang sama dengan saya. Jujur menurutnya kalau yang saya cari adalah materi, terang-terangan beliau menyebutkan As Syifa bukanlah tempatnya. Karena As Syifa belum mampu membayar gaji pegawai sebagaimana Al-Azhar tempat saya bekerja dulu. Itulah kata-katanya yang selalu saya ingat hingga sekarang. Kata-kata itu juga yang mampu menjadi semacam penguat saya untuk selalu bertahan dan bersyukur di setiap kemungkinan pahit apapun di As Syifa. Lagipula kalau materi yang saya cari untuk apa saya mencoba di As Syifa dengan segala testimoni yang saya dapatkan dari banyak orang? Yah, maklumlah As Syifa juga baru tahun keempat berdiri, jadi masih memiliki banyak problem yang membuatnya jatuh bangun terutama masalah kesejahteraan pegawai. Tapi tekadnya yang dituangkan dalam visi misi As Syifa memang ingin menjadikan guru yang terampil, kaya dan preagel dengan cara yang unik yakni program guru emas.
Melalui bapak enam anak inilah saya mendapat bocoran cerita kecil tentang asal muasal berdirinya boarding school ini. Awalnya saat bapak ini beserta teman-temannya sedang melakukan mukhoyyam di Ciater yang saat itu sedang memutar sebuah film documenter Palestin, dr. Sulaeman Umar Qush sedang berada di tempat yang sama. Karena melihat kegiatan yang dilakukan bapak ini dan teman-temannya, beliau sangat kagum dan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut apa yang akan dilakukan bapak ini dan teman-temannya jika dia bersedia memberi bantuan untuk “dakwah” di Indonesia khususnya di Subang dari Qatar. Dengan berbagai pertimbangan dan singkat cerita dari beliau, yang jelas setelah itu dr. Sulaeman berazzam ingin berdakwah di Indonesia dengan caranya yaitu mendirikan masjid-masjid di berbagai tempat di daerah sekitar Subang. Langkah selanjutnya adalah mendirikan Yayasan As syifa Al Khoeriyyah ini pada tahun 2003. Dana yang di alirkan dari dr. Sulaeman ini merupakan amanah yang ditimpakan kepada bapak ini dan teman-temannya untuk terus mendirikan masjid-masjid dan madrasah di sekitar wilayah Yayasan didirikan. Menurut dalam profil FB As Syifa Charity ada sekitar 500 lebih masjid yang telah dibangun dan tersebar di seluruh wilayah Subang dan Jawa Barat baik besar maupun kecil (musholla).
Bocoran sedikit mengenai dr. Sulaeman Umar Qush. Beliau adalah seorang keturunan asli Palestine. Sebelum pensiun beliau adalah seorang kepala Rumah Sakit militer di sana. Subhanallah! Tekadnya untuk memberi bantuan di Indonesia melalui jalan dakwah ini sulit ditiru karena beliau adalah pribadi yang pantang menyerah, pantang mengeluh dan selalu bekerja karena Allah ta’ala. Usianya sudah hampir 60 tahun tapi beliau tidak pernah absen ke masjid untuk sholat berjamaah di masjid As Suweidy. Konon nama As Syifa ini diambil dari latar belakang beliau yang seorang dokter. As Syifa yang berarti obat setidaknya memiliki falsafah tempat pengobat hati bagi manusia yang ingin memperbaiki dirinya. Sayapun merasakannya karena pada saat saya ke As Syifa, segala kekecewaan dan penyakit hati yang berasal dari Jakarta terobati sudah setelah berada disini. Hmm ^_^
Pengalaman menyaksikan pesona As syifa pertama kali adalah saat pelatihan hari kedua. Kami diajak jalan-jalan ke atas bukit yang notabene masih milik As Syifa. Kami harus menapaki jalan mendaki dan terkadang sangat terjal-mampu membuat pinggang serasa patah- sekitar 5 kilometer jauhnya. Jalur yang dibuat memang melewati banyak kebun nanas dan hutan-hutan yang masih milik warga. Namun dari situlah As Syifa sepertinya sengaja membuat pendekatan yang merakyat sehingga tidak ada batas seperti pagar di sekitarnya. Jauh sampai ke atas, atase As Syifa ini memang sengaja mengantar kami menengok apa saja yang dimiliki As Syifa di atas bukit itu. Ada peternakan ayam, beberapa perkebunan dan peternakan sapi. Setelah sampai di atas, lelahnya raga ini tergantikan oleh nikmat dan indahnya pemandangan yang bisa dilihat dari atas bukit tersebut. Subhanallah indah!
Pada 4 Desember 2005 Yayasan As Syifa Al Khoeriyyah ini diresmikan di Tambak Mekar. Bermula dari sinilah akhirnya dakwah diteruskan dengan keinginan membangun sebuah lembaga pendidikan untuk umat Islam di Indonesia. Maka dibangunlah As Syifa Boarding School, Subang. Sekolah berasrama yang memiliki visi membangun peradaban. Pembangunan pertama kali adalah sekolah dan asrama puteri SMPIT As Syifa. Tentu karena angkatan pertama, maka mereka menamakan angkatan mereka ANGKASA (Angkatan Satu) tahun ajaran 2006-2009. Tahun ajaran berikutnya (2007) sekolah dan asrama putera pun dimulai.
As Syifa ini tidak hanya mendirikan sekolah Islam terpadu namun juga sebuah lembaga tahfiz untuk para daiyyah yang ingin menggali ilmu Al Quran lebih dalam. LTIQ atau Lembaga Tahfiz dan Ilmu Al Quran dengan batas usia maksimal 22 tahun, sudah bisa mendaftar disini. Lulus dari lembaga ini para santri akan mengabdi di As Syifa sebagai guru tahfiz murid SMP dan SMA atau di luar sesuai pilihan atau rencana mereka masing-masing.
Tahun keempat berdirinya boarding school As Syifa, adalah saat saya baru datang. Saya yang saat melamar di As Syifa dan menjalani test ingin menempati posisi pustakawati-sebagaimana pengalaman kerja saya sebelumnya- malah berubah menjadi bunda asrama juga karena wawancara oleh bapak itu.
Beliau bertanya, “..sekarang jumlah wali kamar sangat minim, seandainya ibu ditempatkan sebagai bunda asrama apakah ibu bersedia?”
Alasan apa yang bisa saya berikan untuk menolak karena saya hanya bisa berkata, “InsyaAllah bisa Pak.”
Saat itu angkatan keempat yang dilahirkan diberi nama PERMATA oleh seorang guru yang di tahun itu juga keluar. Nama ini agak berbeda setelah ketiga angkatan sebelumnya bertema benda langit, ANGKASA, ANDROMEDA, dan ATMOSFER. Sebagaimana nama-nama angkatan sebelumnya, PERMATA ini juga memiliki akronim, Persatuan Muslimah Tangguh. Namun sekarang di tahun ketiga mereka sebagaimana saya, nama itu berubah akronim menjadi Perkumpulan Muslimah Angkatan Empat. Tapi yang jelas sama baiknya. Kini setelah dua tahun di awal saya membimbing ATMOSFER, akhirnya saya bersama PERMATA sekarang. Nama-nama angkatan ini hanya untuk santri puteri.
Pekerjaan menjadi Bunda tidak semudah yang dibayangkan meskipun banyak yang iri dengan pekrjaan kami. Di sela-sela waktu saat seorang guru istirahat bunda asrama bekerja bersama anak meskipun hanya sekedar mendampingi sholat di masjid. Di saat guru-guru sedang beristirahat di rumdisnya malam hari, justru kami baru memulai kerja kami membimbing anak-anak di kamar dari mulai mendengar curhat, ajakan-ajakan kebaikan hingga ide-ide cemerlang dari kepala mereka. Bagi kami, tidak bisa tidur sebelum pukul sepuluh malam atau bahkan lebih jika ada anak yang masih belum tidur. Saya yakin rekan guru pun sebenarnya memiliki kadar yang sama namun dengan tempat yang berbeda saja. Di As Syifa kami bekerjasama, bahu membahu dan menumbuhkan generasi baru setiap tahunnya. Kami masih dalam taraf memulai untuk membangun sebuah peradaban sebagaimana visi As Syifa. Banyak hal-hal yang masih baru dimulai seperti penggunaan bilingual bahasa, peraturan-peraturan dan pemekaran perpustakaan sebagai pusat budaya. Dalam hal ini dituntut kekuatan fisik, hati dan pikiran untuk tetap bertahan karena Allah bukan karena yang lain. Bekerja bermotto Mardhotillah harus ditancapkan sedalam-dalamnya di qolbu jika ingin bisa berhasil dan bertahan disini karena saya akui banyak sudah sumber daya manusia yang keluar masuk dengan begitu cepatnya karena tidak merasa puas dengan keadaan yang ada.
Bagi saya sendiri, hidup seperti ini bagai membalik 180 derajat dari hidup saya di Jakarta sebelumnya. Pemandangan gedung-gedung bertingkat digantikan dengan hamparan sawah dan gunung di sepanjang jalan Cagak. Setiap pagi bahkan sampai malam bisa terus menerus menghirup udara segar. Biaya hidup jadi lebih hemat. Budaya konsumerisme bisa dikendalikan dengan jatah makan tiga kali teratur. Di Jakarta? Belum tentu pulang kerja mau makan di rumah. Pasti kepengin jajan. Lingkungan yang terjaga dengan sesama orang-orang yang sefikroh, sekufu dan setarbiyah. Di Jakarta, mungkin kita dengan tetangga akan berbeda paham dan pelaksanaan ibadah bahkan dengan teman kerja. Menata hati dengan batas-batas yang diajarkan agama antara ikhwan dan akhwat masing-masing sudah mengetahuinya sehingga mudah untuk bekerjasama baik dalam pekerjaan maupun kehidupan biasa. Di Jakarta, mungkin orang sholeh dan sholehah bisa mudah kita temukan, tapi yang mengerti/paham akan pelaksanaan ibadahnya kiranya jarang ditemukan. Niat bekerja hanya karena ridho Allah (mardhotillah) dan berbakti kepada orangtua, namun di Jakarta niat materialisme dan menghamburkan uang atas nama persahabatan suit dihindari.
Kehidupan yang lebih religius (menghafal Quran, sholat berjamaah di masjid, shoum sunnah berjamaah, halaqoh rutin, program ruhiyah anak, dll) membuat saya lebih merasa “terisi” ketimbang hiruk pikuk Jakarta yang menyeramkan dengan kehidupan materialistisnya. Semua yang berkaitan dengan anak adalah tugas bunda asramanya untuk mendampingi kecuali di sekolah. Disini mudah menemukan ustad/ustadzah untuk bertanya, mudah menemukan teladan/contoh mulia sebagai seorang pribadi muslim, mudah mencari inspirasi penguat taqwa, mudah mencari kajian pemersatu batin kepada Illahi, mudah belajar bersabar karena keadaan, mudah beramal karena keihlasan dan mudah mendapat ilmu karena selalu belajar setiap detik dari tanda-tanda alam melalui berbagai perantaranya. Kelemahan saya sebelumnya berubah menjadi sebuah kekuatan yang menjadikan saya pribadi baru yang lebih baik sekarang. Saya rasakan perubahan saya bertahap karena apa yang saya pijak tidak pernah lepas dari ridho kedua orangtua dan pastinya ridho Allah SWT. Janji Allah selalu terbukti, “…Berdoalah, maka akan Aku Kabulkan..” dan “…di balik kesulitan pasti ada kemudahan dan sungguh, di balik kesulitan ada kemudahan.” Saya, merasakan keduanya ^_^.
Jika dari awal hingga sekarang saya ditanya oleh kawan lama atau saudara mengenai apakah saya betah tinggal disini? Saya akan menjawab. Sejauh ini belum ada alasan saya untuk keluar dan mencari kehidupan yang lebih baik selain di As Syifa. Dengan nikmat sebanyak itu, apakah saya harus berhenti bersyukur apalagi meminta sesuatu yang belum kita miliki sedangkan syukur kita belumlah sempurna? Mungkin terdengar idealis namun saya hanya memacu diri saya untuk senantiasa menjaga rasa syukur ini sejak awal saya mulai hingga akhir nanti entah kapan. As Syifa adalah hadiah terindah dengan segala pesonanya dari Allah SWT kepada saya dan kepada siapapun yang pandai mensyukuri nikmatNya.
Whatever Allah gives to me I’m sure that is the best I have to greeting of.
Here, I started a big change. And I want had a big blessing here too.
Subang, 21 Oktober 2011
Besonderes fur KamaL.
By : Ratih Murdiyati
(GUTE FREUNDE ME)